Dalam budaya Bugis masa silam, waria, wandu, atau banci, punya kedudukan terhormat yakni sebagai “penyambung lidah” rakyat dan raja, dengan para dewa. Dalam perjalanannya, peran bissu – begitu kaum waria sakti ini disebut – perlahan menghilang, bahkan nyaris punah gara-gara perubahan iklim politik negeri ini. Kini, mereka yang tersisa, mencoba bangkit kembali.
Kecamatan itu bernama Segeri. Letaknya di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), sekitar 70 kilometer arah Utara Makassar. Di daerah pesisir Barat Sulawesi Selatan itu, terdapat ratusan tambak penghasil bandeng, kepiting dan udang. Bisa jadi karena orang Sulsel umumnya gemar makan ikan, maka daerah ini bisa dikenal luas. Jalan Trans-Sulawesi, jalur darat dari Makassar ke Manado, juga melintasi daerah ini.
Di Segeri, tepatnya di sekitar Pasar Sentral, rasanya tak ada yang tidak mengenal Eka. Pemilik Salon “Eka” yang sekaligus dikenal sebagai perias pengantin andal. Kata orang, riasan tangan gemulainya bisa membuat pasangan pengantin terlihat lebih cantik dan bercahaya. Tapi selain itu, waria 29 tahun ini juga dikenal masyarakat sebagai satu dari sedikit bissu yang tersisa di Segeri.
Bissu, gampangnya bisa kita sebut sebagai pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Asal katanya
bessi, berarti bersih. Para waria yang menjadi bissu dianggap suci, tidak kotor, karena mereka tidak berpayudara dan tidak menstruasi. Selain waria, ada pula bissu perempuan, yaitu mereka yang menjadi bissu setelah mengalami menopause.
Selayaknya pria-pria berjiwa perempuan, Eka dan para waria lain bermata pencaharian yang terkait urusan kawin-mawin. Mereka menangani tata rias, membuat baju pengantin, peralatan pesta, bahkan sampai tata urutan perayaannya. Penghasilannya jauh dari sekadar lumayan. Saat musim hajatan,
wedding organizer tingkat kampung macam Eka, bisa menangani lima sampai sepuluh pasang pengantin per hari. Satu pasang tarifnya paling minim Rp 2 juta.