Sejarah dapat ditelusuri dari berbagai sumber, media adalah salah satunya. Selain untuk mengomunikasikan pemikiran manusia, media merupakan alat perekam yang sangat efektif untuk mengingat berbagai peristiwa yang telah terjadi dalam kehidupan manusia.
Media karikatur adalah salah satunya. Merujuk Lenn Redman dalam bukunya How to Draw Caricatures", inti karikatur bukanlah pada pembelokan arti, melainkan lebih pada melebih-lebihkan sesuatu, terutama sesuatu yang menjadi sorotan atau pemberitaan. Redman juga menyarankan para pembuat karikatur untuk melebihkan sesuatu yang mendekati kebenaran, bukan malah membantah kebenaran.
Karikatur juga disebut sebagai "penumpukan bara di atas kepala sasaran". Penyindiran terhadap sesuatu dengan humor jenaka yang pahit. Si pembuat karikatur tidak bermaksud mengejek sasaran, namun juga membuka kedok sasaran karikaturnya, dan memperlihatkan pada khalayak apa yang ia anggap benar.
Pilihan ini yang membuat banyak karikaturis menghadapi konsekuensi yang tidak mengenakkan akibat karya mereka. Charles Philipon contohnya. Pemilik majalah La Caricature ini terpaksa berhadapan dengan pemerintah Louis-Phillippe dan membuatnya keluar masuk penjara. Di awal 1800-an di Prancis, majalah Philipon merupakan majalah pertama yang menggambarkan Louis-Philippe bagaikan sebuah pir. Perbandingan yang tepat untuk kepala sang raja dan perilaku seksualnya.
Simbol yang digambarkan Philipon ini dengan cepat menyebar dan diterima sebagai simbol yang universal untuk menggambarkan Louis-Philippe dan rezim kekuasaannya. Akibatnya, sebuah peraturan yang mengatur kebebasan pers disahkan yang kemudian melarang pemuatan karikatur politik di berbagai media.
Contoh lain adalah Thomas Nast. Di pertengahan abad ke-18 ia menjadi kartunis politik yang paling berpengaruh di Amerika. Thomas Nast berhasil menjatuhkan jaringan Boss Tweed dan mesin politik koruptor di New York Tammany Hall dengan karikaturnya. Hasil kreasi Nast yang paling terkenal adalah Santa Claus yang populer hingga saat ini.
Goresan gambar yang sederhana namun menarik, ditambah sedikit kata yang menyentil, ternyata bisa menjadi daya tarik untuk merunut sebuah sejarah. Daya tarik ini didukung oleh era pertumbuhan sosialisme dan emansipasi kaum pekerja. Mereka memperjuangkan hak pilih baik aktif maupun pasif, dan demi imbalan yang lebih adil dari kerja mereka. Pertumbuhan sosialisme ini yang juga mendorong majunya perkembangan karikatur sejak akhir abad ke-19 hingga kira-kira tahun 1940.
Runutan sejarah yang tertuang dalam karikatur politik yang menentang kapitalisme dan militerisme saat penjajahan Belanda di Indonesia, pernah dipamerkan Erasmus Huis dalam pameran Kartun Politik Tua pada Januari 2007. Sejumlah karikatur karya 10 kartunis Belanda yang dimuat harian Het Zondagsblad dan De Notenkraker selama tahun 1900-1936 serta De Vlam tahun 1945-1949 dipamerkan.
Het Zondagsblad (Suplemen Mingguan) adalah lampiran harian Het Volk (Harian Rakyat) yang penerbitannya diprakarsai pemimpin Sociaal Demokrarische Arbeiders Partij (SDAP) pada 1900. Het Zondagsblad baru mulai diterbitkan pada 1902 sebagai suplemen hari Minggu. Suplemen ini merupakan alat ampuh propaganda bagi SDAP. Pada edisi pertama (6 Juli 1902), redaksi menulis mereka "ingin menjadikan kaum yang buta jadi melihat dan yang tuli jadi mendengar".
Tahun 1907, terbitlah De Notenkraker sebagai pengganti Het Zondagsblad. Nomor perdananya terbit 5 Januari 1907 yang gambar depannya memuat karya Albert Hahn berjudul "Program Kita". Dalam karikatur itu Hahn menggambar boneka kayu bertopi phrygysch (lambang kebebasan) dengan mulut bergigi tajam tengah menerkam kepala seorang laki-laki berpakaian mentereng, sementara tuan-tuan bertopi tinggi (lambang kaum kapitalis dan golongan Kristen) lari tunggang-langgang. De Notenkraker sepanjang sejarahnya selalu berisikan karangan dan kisah-kisah satire, termasuk puisi dan iklan yang dibuat-buat, dan halaman depan yang selalu memuat karikatur.
Albert Hahn karikaturis produktif dan ahli gambar paling penting untuk majalah ini. Sampai akhir hayatnya (3 Agustus 1918) ia menyelesaikan hampir 800 gambar untuk halaman depan dan 2.800 gambar untuk bagian dalam majalah ini. Saat ia jatuh sakit (1909-1910) tak kurang dari 10 karikaturis dibutuhkan untuk menggantikannya, termasuk di antaranya Tjerk Bottema dan Leen Jordaan.
Karikatur-karikatur yang terbagi dalam kategori colonial capitalism, awakening, clericalism, dan others ini berusaha mengecam cara-cara yang dipakai Belanda dalam memapankan penindasan mereka di Indonesia. Terutama cara-cara militer yang dipakai saat menyerbu Aceh dan Bone. Kecaman ini tertera jelas dalam sebuah karikatur karya Leen dert Jordaan yang terbit 20 September 1926 mengenai pemberontakan di Jawa Barat. Karikatur itu menggambarkan seorang militer Belanda memegang cambuk dan menginjak seorang pribumi (orang Indonesia). Dalam karikatur tersebut tertera: "Bijaksanalah - kejahatan tak dapat dilenyapkan dengan cambuk... Malah kian merasukinya".
Selain mengecam kekerasan dan penindasan Belanda, para kartunis ini juga mengecam para misionaris yang membawa misi kristenisasi di Indonesia. Salah satunya terlihat dalam sebuah karikatur yang terbit 17 Januari 1914. Karikatur tersebut berisi kalimat: "We, with our culture, stand on higher ground than Islam which is merely produce crafts. Therefore, to achieve higher culture we must import it".
Sejarah yang termuat secara kronologis ini sangat berharga dan dapat menjadi bagian dari sumber pelajaran sejarah di sekolah yang selama ini sangat terbatas. Dari karikatur, selain terhibur, kita bisa belajar banyak hal untuk membuka cakrawala pemikiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar