Sabtu, Maret 10, 2012

Realisme Dalam teater Indonesia

Pada pertengahan abad ke 18 dan 19 dunia mengalami peralihan luar biasa. Masyarakat agraris berubah menjadi masyarakat industri. Era revolusi industri itu ditandai oleh berbagai fenomena yang spektakuler. Kapitalisme yang sudah lahir sebelumnya disusul dengan doktrin sosialisme. Adam Smith, Karl Marx mengubah pandangan dunia. Revolusi pecah di mana-mana. Dan kehidupan teater juga bergerak..
Realisme berkembang di abad 19 sebagai reaksi terhadap romantisme. Estetika baru ini mengajak orang untuk menilai atau melihat sesuatu dari kemampuannya merepresentasi kenyataan yang obyektif secara kasat mata. Citra seni ini tak hanya selera tetapi pandangan mendasar yang punya filosofi tersendiri. Dalam sastra kita kenal toloh-tokoh realisme seperti realisme yang antara lain diwakili oleh Balzac, Flaubert, Dickens, Thackeray, Tolstoy, Dostojewsky, Ibsen. G. Keller, Th Fontane. Pada abad ke-20 di dalam realisme sendiri berkembang bermacam-macam aliran. Ada realisme magis, surealisme, realisme sosialisis, realisme baru yang lebih dikenal sebagai pop-art serta metarealisme.

Teater realis adalah teater
yang tidak lagi sibuk melakukan pemujaan terhadap dewa Dyonesos sebagaimana terjadi pada saat kelahiranya di masa Yunani purba. Tetapi kini terpaku pada kenyataan-kenyataan sosial. Problematika sehari-hari yang menyebabkan manusia tergilas oleh kemiskinan, perang, konflik dan sebagainya, membuat manusia ingin melihat tidak hanya buah pikiran dan cita-cita, tetapi kenyataan kasat mata yang konkrit di depan mata. Shakespearre yang mengajak teater berfilsafat, sudah menjadi monumen, kini teater melihat kepada realita.
Realisme di dalam teater datang dengan seluruh perangkat nilainya yang baru. Cara pemanggungan, teknik bermain serta penulisan naskah yang sudah tidak lagi seperti sebelumnya. Teater tidak lagi menjadi hiburan raja-raja dan tentang raja-raja, tetapi juga milik orang biasa dengan cerita orang biasa. Seorang aktor teater dari Rusia bernama Konstantin Sergeyevich Alekseyep Stanilavsky ( Moskow 17 Januari 1863-7 Agustus 1938), menyusun metode seni laku yang bagaikan revolusi dalam teknik pemeranan. Dengan catatan kehidupannya dalam My Life in Art yang kemudian menjadi salah satu buku putih buat aktor-aktor di dalam teater realis, Stanilavsky bicara tentang “kebenaran sejati, kebenaran dalam”. Sampai sekarang Stanilavsky dianggap merupakan seorang Einstein di dalam seni peran. Di Indonesia namanya juga selalu disebut-sebut, meskipun tak semua orang memahami apa yang diajarkannya.
Bagi seni pertunjukan tradisi di Indonesia, realisme adalah penumpang asing yang baru datang sudah langsung main kayu. Tanah asalnya yang dari Barat menjadi semacam kompetensi yang menjadikan bentuk berekspresi tersebut, seperti boleh menggurui seni pertunjukan tradisi yang pada dasarnya bersifat stilisasi.
Maka terjadilah realismelisasi, sehingga teater modern Indonesia mulai melepaskan unsur ritual dan spiritual, untuk lebih mengkhususkan teater menjadi
21
dialog antar manusia. Pertunjukan bukan lagi percakapan langsung manusia dengan alam, bukan lagi bagian dari kehidupan spritual pribadi para pemain dan penonton, bukan lagi peristiwa zikir bersama dalam menghayatiNya. Pertunjukan menjadi semakin bertutur, runtun, konkrit, jelas, tertata, rasional, semakin teknis, terkemas dan menghibur. Pada akhirnya tontonan menjadi barang komoditi.
Hal penting yang disumbangkan oleh realisme di dalam teater adalah sebuah doktrin yang secara kuat sekali membuktikan bahwa teater adalah peralatan sosial. Dengan mengolah emosi, teater menjadi salah satu mesin empati yang dapat mempengaruhi jiwa manusia. Teater menjadi sarana yang andal dalam upaya manusia berkomunikasi sesamanya di dalam pergaulan, dengan berbagai muatan, baik psikologi, politik, filsafat bahkan juga idiologi dan relegi. Teater menjadi kendaraan serba-guna yang dapat mengangkut berbagai pesan dengan amat intensif dan efektif terutama karena kemasannya yang semakin menarik, sebagai lawan bahwa sebelumnya isinya yang merupakan primadona.
Sejak berdirinya ATNI pada tahun 50-an di Jakarta, yang dibidani oleh Usmar Ismail dan Drs Asrul Sani, sastrawan pelopor Angkatan 45, teater Indonesia modern mengalami transformasi yang penting. Seni pertunjukan yang dikenal dengan sandiwara (kabar-rahasia), tonil, pertunjukan Dardanella, komidi Bangsawan, mendapat pasokan ilmu seni pertunjukan baru yang disebut realisme. Panggung, layar, lampu, tata busana, tata rias, tata rupa dan seni laku, dan sebagainya mengajarkan pakem-pakem baru yang mengacu kepada kebenaran kasat mata. Cerita pun jadi berbeda. Tema, struktur, plot dan sebagainya mengajak pertunjukan mempersoalkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari dengan cara yang lebih “wajar” dengan psikologi sebagai panglimanya. Pertunjukan bukan lagi merupakan “upacara” bersama, kenduri, tetapi seni pengulangan kenyataan hidup sehari-hari.
Seluruh cabang kesenian yang menyatu dengan seni laku dalam teater tradisi, dipreteli. Teater menjadi sarat dengan tutur sehingga terasa lebih memihak pada para intelektual. Teater tradisi yang tidak hanya berkiblat pada seni laku (tapi gabungan antara tari, seni, suara, seni laku, ritual agama bahkan sering berbagai upacata magis) tiba-tiba menjadi seperti rusa masuk kampung di dalam habitatnya sendiri. Bukan saja karena ilmu (jalan pikiran) teater realis tidak lebih dahulu dipahami, sebelum mencobakan bentuknya, tapi karena seluruh fenomena sosial di dalam kehidupan sehari-hari kita, tidak memungkinkan realisme (baca:Barat) itu dipraktekkan.
Manusia Indonesia seperti dilukiskan oleh pertunjukan wayang, duduk dengan tertib dalam melakukan rembukan. Wajahnya tidak mencerminkan perasaannya. Geraknya minimalis. Intonasi suara monoton. Bahkan dalam berdebat dan marahpun tak ada pergolakan dalam suara dan laku. Dan di puncaknya, adegan perkelahian pun lebih merupakan gerakan stilisasi tari, yang hanya menyarankan ide. Sering diiringi dengan menembang. Baru belakangan ditambah dengan seni pencak dan akrobatik. Ini tak sesuai dengan tuntutan realisme Barat. Teater realis yang memukau karena para pemain bisa bebas bergerak dan berekspresi dan memang terbiasa mempertontonkan emosi
22
dengan tubuh dan suaranya, terganjal oleh estetika timur yang cendrung menahan diri dan menstilisasi segalanya dalam simbol-simbol.
Rasa yang menjadi acuan utama di dalam teater tradisi, dengan berbagai ritus yang menjadi motornya -- karena seni petunjukan memiliki fungsi relejius, sosial dan pewarisan kebijakan lokal kepada generasi berikutnya -- menjadi kehilangan kesakralannya oleh pendekatan realis. Teater pun menjadi seperti film yang diragakan dan berubah dari upacara meditasi menjadi pertunjukan yang berkiblat pada permintaan pasar. Dan di situ kita memang sama sekali tidak siap. Ketrampilan untuk mengemas/menjual pertunjukan teater yang di masyarakat Barat sudah tersusun menjadi ilmu produksi teater, sama sekali sesuatu yang baru yang belum pernah dipelajari dengan sungguh-sungguh di Indonesia.
Percobaan terus dilakukan tetapi kemudian membuat pertunjukan teater realis yang rationya merakyat itu justru menjadi semakin jauh dari masyarakat/rakyat/. Itu terjadi karena kurangnya kemampuan untuk merepresentasikan realita dari sudut pandang wujud nyatanya, kemudian realita dalam teater realis justru menjadi hanya cita-cita. Pertunjukan realis menjadi justru menjauhi kenyataan. Dan masyarakat menolaknya. Sampai kemudian orang-orang teater realis itu terpaksa belajar bagaimana menampilkan realita di atas panggung dengan lebih pas. Yang sering dilupakan, kenyataan bahwa sesungguhnya di dalam teater tradisi yang tidak realis, masyarakat merasakan realita jati diri mereka.
Para penulis drama mencoba membuat naskah-naskah mengambil model sandiwara Shakespeare. Lahirlah karya seperti Prabu dan Putri, karya Rustandi Kartakusuma, misalnya. Terlepas dari nilai sastranya, kelahiran naskah tersebut tidak diimbangi dengan penguasaan penampilan seni pertunjukan, sehingga realisasi pertunjukannya benar-benar tak bisa “memikat”. Nakah-naskah yang disebut oleh Ajip Rosidi drama kloset itu, sepertinya ditulis hanya untuk dibaca saja. Ia merupakan bagian dari dunia sastra. Ketika diwujudkan sebagai pertunjukan ia mengalami kegagapan baik karena potensi visual yang terbatas maupun karena kemampuan memvisualkan yang juga masih kurang.
Salah satu hal yang menyebabkan teater realis menjadi seperti “lebih bule dari orang bule” adalah karena naskah yang dimainkan kebanyakan berasal dari Barat.Tak banyak naskah drama Indonesia ditulis. Sebagai akibatnya para pemain pun bergaya seperti yang dipelajarinya dari pastur-pastur bule yang berkotbah dengan pengucapan yang dikaku-kakukan. Gaya kebule-bulean itu membuat teater realis di Indonesia jadi tidak realistis. Mungkin itu juga dipacu oleh jiwa stilisasi yang sudah mengakar, sehingga secara bawah sadar selalu kambuh-kambuh lagi. Akibatnya kendati mencoba bermain realis, tetap saja para pentolan teater realis melaksanakan/dipengaruhi oleh pakem teater tradisi.
Sebaliknya dari menjadi “tontonan” sebagaimana yang sudah terjadi pada teater tradisi, teater realis lebih mengarah kepada siksaan yang menyebalkan. Pergantian dekor yang ditandai oleh keributan panggung dan bunyi palu (karena dulu umumnya teater masih merupakan suguhan tumpangan dalam sebuah perhelatan) membuat teater ditinggalkan oleh publik. Padahal seni pertunjukan seperti wayang, ketoprak, lenong, arja dan sebagai, tetap diminati oleh rakyat.
23
Tetapi kedatangan realisme dalam teater Indonesia bukan tanpa hasil. Usmar Ismail (terkenal dengan karyanya: Api, Citra, Liburan Seniman) dengan perkumpulan sandiwara Citra di masa perjuangan phisik sudah berhasil membentuk komunitas teater realis. El Hakim (Dr. Abu Hanifah) juga menulis naskah Taufan di Atas Asia yang menunjukkan bahwa teater terkait dengan politik. Jepang memobilisasi teater untuk memperopagandakan cita-cita Asia Timur Raya. Bung Karno sendiri dalam masa pembuangannya di Bengkulu, mengadakan pertunjukan sandiwara.
Baru di masa sesudah kemerdekaan, ATNI (1950-an) dan kemudian diteruskan oleh Teater Populer di bawah pimpinan Teguh Karya (salah satu murid terbaik Asrul Sani) , benar-benar menjadi pertanda penting usaha mengejar ketertinggalan ilmu teater realis. Perlahan-lahan tapi terbukti, realisme dalam teater bisa dibujuk, ditegakkan dan kemudian dicakok dalam agenda penonton Indonesia, lalu ditumbuhkan menjadi salah satu aliran berteater. ATNI dan Teater Populer yang mempelajari realisme dengan sungguh-sungguh, berhasil membentuk komunitasnya. Buku tuntunan tentang bagaimana menjadi seorang pemain realis pun diterjemahkan oleh Asrul Sani dari karya Bolelavsty, berjudul : “Enam Pelajaran Pertama Bagi Calon Aktor”. Di Yogya ada ASDRAFI- Akademi Seni Drama dan Film yang didirikan oleh Sri Murtono, menyusul akademi teater di Bandung yang kemudian disusul dengan jurusan teater di ASTI. Lalu jurusan teater di Instituit Kesenian Jakarta dan ISSI Yogya.
Teater Populer dengan Sanggar Karya di Hotel Indonesia termasuk produktif dan melahirkan pemain-pemain hebat seperti Slamet Rahardjo dan Tuty Indra Malaon. Karya-karya Ibsen, Tenesse William, Athur Miller, Gogol, Molierre, O’Neil, Moliere, Shaw, Strindberg dan sebagainya diperkenalkan pada penonton Indonesia. Di Bandung sudah lama ada STB dengan Jim Liem dan Suyatna Anirun yang memperkenalkan Anton Chekov. Di Yogya ada Teater Indonesia dengan Mat Dhelan dan Sumantri Sosrosuwondo serta Kirjomulyo yang mempopulerkan bentuk teater arena dan berkeliling dengan drama satu babak “Pinangan” (Anton Chekov). Di Jakarta ada The Jakarta Players yang sempat secara berkala main di TIM dengan mempergunakan bahasa Inggris.
Belum lama terbit buku “Lima TahunPertama Actors Unlimited – 1999-2004” yang menjelaskan bahwa selain STB, di Bandung ada usaha menegakkan teater realis yang serius. Dengan tekun kelompok ini telah mementaskan: Art (Yasmina Reza), opera La Boheme (Giacommo Puciini), Faust (Goethe), Anarkis Itu Kebetulan (Datio Fo), Senja Dengan Dua Kematian (Kirjomulyo), Pangeran Sunten Jaya (Saini K.M), Suara-Suara Mati (Manue; van Longgem), Antigone (Jean Anoulh), Musuh Masyarakat ( Hendrik Ibsen). Salah seorang aktor dan pendekarnya yang sudah berkepala enam, Moh. Sunjaya, sangat enerjetik dan heroik dalam membela keaktoran. “Tidak bisa berhenti,”katanya dengan semangat menyala-nyala.
Realisme setelah melukai, mulai mendapatkan tempatnya dalam teater Indonesia modern. Tetapi bukan tanpa resiko. Keberadaannya ternyata membuat jarak antara teater tradisi dan teater modern. Teater tradisi yang non realis kemudian berinteraksi dengan teater modern yang non realis dan melahirkan satu bentuk teater Tradisi Baru dengan tokoh-tokoh seperti Rendra
24
(Bengkel Teater), Arifin C Noer (Teater Kecil), Teater Mandiri dan kemudian disusul oleh Teater Saja ( Ikra Nagara), Wisran Hadi (Bumi Teater), Budy S. Otong (Teater SAE) , Dindon (Teater Kubur) dan Yudi dari Teater Garasi serta Teater Payung Hitam (Rachman Sabur) dsb.nya. Sementara teater realis yang berkiblat pada realisme Barat dengan Stanilavsky sebagai nabinya mencapai puncaknya pada Teater Populer dengan sutradara Teguh Karya.
Dalam Festival Teater Remaja Jakarta (dimulai 1974) , kelompok Teater Remaja Jakarta Pusat pimpinan Aldizar Sjafar, dengan setia menampilkan drama-drama realis dan kemudian menghasilkan pemain seperi Dedy Mizwar. Teater Koma, pimpinan N.Riantiarno, sedikit banyak awalnya juga berbasis teater realis, kemudian menjadi lebih berat ke drama musikal dan parodio-parodi yang kadangkala menjadi karikatural. Nama-nama yang terus setia mengembangkan teater realis adalah almarhum Wahyu Sihombing, Pramana Pmd, dan kini Jozep Ginting dari Teater Lembaga( IKJ)
Kebangkitan realisme dalam teater Indonesia telah ditandai karya-karya yang bagus dari Utuy Tatang Sontany. Dari tangannya mengalir karya seperti: Awal dan Mira, Bunga Rumah Makan, Di Langit Ada Bintang, Sayang Ada Orang Lain. Karta-karya tersebut bukan hanya dibaca, tetapi juga dimainkan di mana-mana. Utuy sampai sekarang boleh dianggap salah satu puncak pengarang drama realis Indonesia. Ia menajamkan lagi realisme di dalam teater dengan realisme sosial, antara lain dalam karyanya Selamat Jalan Anak Kufur.
Menyusul Utuy, Yogya melahirkan Kirjomulyo dengan “Penggali Intan”. Kemudian Nasyah Djamin dengan “Titik-Titik Hitam”, Motingg Boeye dengan “Malam Jahanam” Di Jakarta muncul Misbach Yusa Biran dengan “Bung Besar”. Generasi selanjutnya antara lain bisa disebut: Kuntowijoyo, Arswendo Atmowiloto, Riantiarno dan Saini Km.
Perjalanan teater realis di Indonesia tak berhenti setelah memperoleh kapling hidup. Dalam pertumbuhannya, realisme teater di Indonesia berbeda dengan realisme seperti yang ditemukan di Malaysia. Realisme Indonesia telah terkontaminasi oleh berbagai masukan dari teater tradisi yang diam-diam namun dengan hebatnya membelokkan perjalanan teater modern Indonesia tidak ke realisme Barat tapi pada realita manusia Indonesia yang dalam tanda kutip, akrab dengan, dalam tanda kutip lagi, apa yang disebut Martin Esselin “teater absurd.”
Teater Populer Teguh Karya mementaskan Jayaprana, Perkawinan Darah dan Macbeth yang sudah tak setia pada pakem realismenya. Bahkan Wahyu Sihombing yang begitu patriotik mengembangkan realisme di IKJ, tiba-tiba mementaskan drama absurd Waiting for Godot (Samuel Beckett). Tapi sebaliknya, Rendra, mementaskan Kereta Kencana karya Ionesco dalam Art Summit II dengan gaya realis yang memukau, meskipun juga dicela karena merusak absurditasnya.
Ada pembauran, interaksi dan lalu-lintas yang sangat semrawut tetapi sekaligus bebas dan akrab dalam kehidupan teater modern Indonesia. Pakem-pakem realisme tidak sepenuhnya dikuasai, tetapi juga tak sepenuhnya menguasai. Sehingga terjadilah pergaulan bebas yang intensif antara berbagai kemungklinan/aliran teater. Saya menyebut suasana itulah yang membuat
25
periode 70-80-an menjadi masa yang sangat kreatif dan produktif dalam teater modern Indonesia dan menghasilkan karya-karya dan pertunjukan yang penting. Hasil-hasilnya menjadi Tradisi Baru yang bisa menjadi referensi teater modern Indonesia kini -- setelah hampir 40 tahun Taman Ismail Marzuki, yang menjadi tempat berlangsungnya interaksi itu, berdiri. Sayang sekali kita tidak memiliki dokumentasi lengkap yang tertata sehingga seluruh peristiwa “tawan karang” teater Indonesia terhadap realisme, tidak terpampang jelas.
Metabolisme teater di Indonesia yang sangat dipengaruhi secara mendasar oleh teater tradisi, belum pernah membuat realisme teater hidup dengan murni. Apakah ini semacam kemalangan/kekurangan atau kelebihan, sangat tergantung dari pemahaman kita masing-masing. Saya pribadi selalu melihatnya sebagai kelebihan. Tetapi memang resikonya kita jadi terpaksa harus pergi ke mancanegara kalau ingin menikmati teater realis yang sesungguhnya. Dan pasar teater seperti Broadway mungkin tak akan pernah benar-benar terbentuk di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...