Tak salah kalau Serang Dakko (70) disebut maestro gendang. Kepiawaiannya menabuh sekaligus membuat gendang serta pengalamannya bermain di berbagai pentas, mulai dari tingkat desa hingga mancanegara, membuatnya pantas mendapat gelar ini. Bahkan, banyak yang menyebutnya maestro sebelum Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menganugerahinya gelar tersebut pada 2007.
Daeng Serang—begitu dia akrab disapa—juga termasuk salah satu penggiat seni tradisi yang ikut melestarikan jenis kesenian tetabuhan ini. Sejak usia sembilan tahun hingga saat ini 70 tahun, dia tak pernah berhenti bermain gendang. Menjaga kesenian ini tetap hidup dan digemari, dia dengan tekun mengajarkan cara bermain dan membuat gendang kepada siapa pun, mulai dari tetangga, keluarga, mahasiswa, dan siapa pun yang datang ke rumahnya, dibayar ataupun tidak.
Tak sekadar mengajar di rumahnya, yang disebutnya Sanggar Alam, bapak empat anak ini juga berkeliling menjadi dosen tamu di sejumlah perguruan tinggi atau akademi di Indonesia. Padahal untuk urusan sekolah, Daeng Serang hanya jebolan sekolah rakyat. Toh ini tidak membuatnya berkecil hati dan patah semangat kendati dia harus berbagi ilmu kepada dosen.
”Kalau di perguruan tinggi atau akademi, saya lebih senang mengajar dosennya ketimbang mahasiswa. Pemikiran saya sederhana saja, kalau mahasiswanya, dia bisa pergi kapan saja. Tapi, kalau dosen, di mana pun dia pergi, selama menjadi dosen, dia akan tetap mengajar,” katanya.
Tak hanya di dalam negeri, tawaran mengajar di luar negeri pun tidak sedikit. Sekadar menyebut contoh, Daeng Serang sudah dipanggil mengajar di Amerika Serikat dan Australia. Namun, tanpa bermaksud sombong, Daeng Serang menolak.
”Kalau untuk urusan di luar negeri, saya pegang prinsip, timba yang cari sumur, bukan sebaliknya sumur yang cari timba. Kalau mereka mau datang belajar ke sini, saya dengan senang hati mau berbagi ilmu. Lagi pula, saya masih cinta tanah kelahiran saya, jadi belum berpikir meninggalkan walau untuk sementara,” katanya.
Sejak tahun 2005, suami Daeng Baji ini punya jadwal tetap manggung setiap Desember di Thailand. Lain lagi acara manggung di Hongkong, China, Singapura, Amerika, Australia, beberapa negara Eropa, dan negara-negara yang lain. Belum lagi pentas di dalam negeri.
Ia juga sudah berkolaborasi dengan sejumlah pemain drum kenamaan di Indonesia, salah satunya Gilang Ramadhan. Untuk kolaborasi ini, biasanya Serang tak butuh waktu berlama-lama latihan. ”Saya hanya meminta mereka main satu atau dua kali, saya dengarkan, saya berimprovisasi untuk menentukan di mana dan bagaimana tabuhan gendang saya masuk,” katanya.
Dengan segala pengalamannya, Serang tak besar kepala. Tetap saja undangan sunatan, pernikahan, dan acara lain dari tingkat desa sampai provinsi atau kota lain di Indonesia diladeninya.
Dia punya ciri khas lho!!!
Salah satu caranya membuat permainan gendang bisa lebih dinikmati dan diminati adalah berkreasi dengan berbagai gaya. Di antara banyak penabuh gendang di Makassar, Sulawesi Selatan, Serang memang punya ciri khas sendiri, terutama saat pertunjukan. Di antara yang menjadi khas Daeng Serang adalah menabuh gendang disertai atraksi yang kerap mengundang senyum, bahkan tawa.
Sebagai contoh adalah berhenti tiba-tiba lalu menaruh telunjuk di kepala seolah-seolah sedang berpikir atau menaruh kepalan tangan di dagu layaknya orang merenung, bahkan kerap meliuk-liukkan tubuhnya atau menundukkan kepala dalam-dalam seperti sedang memeluk gendang. Atraksi lain, misalnya, dengan melempar kayu pemukul gendang, lalu dengan tiba-tiba menarik pemukul cadangan yang diselip di sarungnya.
Kekhasan lain yang dimiliki bapak empat anak ini adalah berhenti tiba-tiba, entah di tengah permainan atau di akhir pertunjukan, serentak dengan pemain lainnya, tanpa aba-aba atau tanda lain yang membuat pemain lainnya paham bahwa saat itu gendang harus berhenti ditabuh. Dia menyebut gaya ini tunrung rincik.
katanya sih dari turun-temurun
Keahlian menabuh dan membuat gendang diakui Serang diperolehnya secara turun-temurun dari kakek dan bapaknya, Daeng Parincing. Masa kanak-kanak dalam masa penjajahan Belanda lebih banyak dilalui Serang dengan mengamati bapaknya membuat dan latihan gendang.
”Saya sempat sekolah. Tapi, karena suasana belajar terganggu dengan suara tembakan atau penyerangan, orangtua memutuskan saya berhenti sekolah. Akhirnya waktu saya banyak dihabiskan dengan melihat bapak latihan gendang,” kisahnya.
Tak menunggu besar, saat belum berusia sembilan tahun, Serang sudah mengajak beberapa anak di kampungnya untuk membentuk kelompok gendang dan berlatih. Pikiran Serang sederhana saja waktu itu. ”Dengan bermain gendang, bapak saya mendapat uang, di acara dia juga diberi makan, ditonton orang. Jadi pikiran anak-anak saya bilang, inilah cara mudah mencari uang,” katanya.
Memang saat usianya sembilan tahun, Serang dan teman-temannya sudah mulai berani tampil. Mulanya untuk acara sunatan di kampung. Melihat bakatnya yang cukup menonjol, Daeng Parincing mulai berbagi job dengan Serang apabila kebetulan undangan mengisi acara ada di dua tempat berbeda dalam waktu bersamaan.
Kalau kemudian Serang tak bisa mendampingi istrinya saat melahirkan keempat anak mereka, itu pun karena pentas. ”Saat anak pertama dan kedua lahir, saya ada di Thailand dan Singapura. Adapun saat anak ketiga dan keempat dilahirkan, saya lagi pentas di Bali dan Jakarta.
ajar dulue...
BalasHapus