Gandrang Bulo sebagai seni tradisi masyarakat Sulawesi Selatan yang kelihatannya kocak, ternyata mampu mengocok perut setiap penonton. Tak heran jika mendapatkan tempat khusus di hati masyarakat lokal maupun Internasional.
Bagi Masyarakat Sulawesi Selatan khususnya warga Makassar tari gandrang bulo sudah tidak asing lagi. Hampir setiap ada acara, baik dalam skala lokal, maupun nasional, seni tradisi ini nyaris tak pernah absen dipertunjukkan.
Gandrang bulo sudah dikenal sejak jaman sejak jaman raja-raja Gowa. Pada awalnya, Gandrang Bulo yang hanya berupa tarian dengan permainan musik gendang dan biola dari bambu. Gandrang Bulo ini lazim disebut dengan Gandrang Bulo Ilolo gading, yang dinisbatkan pada salah satu perlengkapan musiknya yang terbuat dari bambu lolo gading atau dalam bahasa daerah makassar dikenal bulo batti (sejenis bambu tertentu).
Namun pada masa penjajahan Jepang tahun 1941 mulai diselipi dengan dialog-dialog spontan yang disertai gerak gestur tubuh yang kocak oleh para seniman pejuang di jaman kemerdekaan.
Menurut salah seorang anggota senior sanggar remaja paropo Dg Naba mengatakan, munculnya kreasi ini adalah salah satu cara para seniman melawan penjajah, baik Belanda maupun Jepang. Mereka tidak hanya melakukan perlawanan fisik dan kontak senjata, melainkan juga lewat ekpresi kesenian di atas panggung.
Pada waktu istirahat kerja paksa tutur Dg Naba, Gandrang Bulo biasanya dimainkan oleh para pekerja. Beberapa orang seniman tampil di depan teman lainnya diiringi musik Gandrang Bulo. Lalu mereka mulai meniru-niru dan mencemooh gerak gerik, gesture dan prilaku tentara Jepang. Karena diiringi musik ditambah gerakan-gerakan yang kocak, maka wajar bila permainan ini menarik ditonton dan diminati banyak orang. Lama kelamaan Gandrang Bulo ini dikenal sebagai Gandrang Bulo 1942.
Tak Lekang oleh Waktu
Berbeda dengan seni tradisi yang lainnya, tari gandrang bulo mampu mengikuti perkembangan zaman yang ada. Di Makassar penari gandrang bulo bisa ditemukan di Paropo dan sudah turun temurun. Menurut masyarakat setempat, sejarah gandrang bulo tak dapat dipisahkan dengan sejarah Paropo. Sebab hanya di daerah ini ditemukan bambu (bulo batti) yang dijadikan gandrang bulo (gendang bambu). Namun seiring pertumbuhan dan pemukiman penduduk bambu tersebut sudah tidak ada lagi.
Salah seorang pengurus sanggar remaja Paropo Usman Masjid, mengatakan gandrang bulo dibedakan atas dua macam yaitu gandrang bulo anak-anak yang sering disebut katto-katto dan gandrang bulo dewasa. Tari gandrang bulo adalah tari yang membuka ruang improvisasi yang cukup bebas bagi para penarinya. Yang lebih menarik lagi, formasi tariannya seolah tidak beraturan, bergerak ke sana kemari, namun dengan komando irama lagu, mereka menunjukkan kekompakan berhenti sejenak ketika musik berhenti, lalu
bergerak lagi secara serentak dan kompak ketika musik dilanjutkan. Makin banyak penarinya, tariannyapun makin seru. Karena itu umumnya tarian ini dimainkan oleh 14 orang. “Dalam setiap kelompok biasanya memiliki 18 orang pemain termasuk cadangan,” jelas Usman.
Sementara itu, generasi ke-5 Gandrang bulo di Makassar Mustafa, mengatakan, jika tari gandrang bulo sebagai seni tradisi masyarakat Sulawesi Selatan sangat digemari oleh masyarakat Internasional. Pihaknya sudah keliling dunia untuk mempertunjukkan tarian ini. Mulai dari Malaysia, Korea selatan, Afrika Selatan hingga gedung putih Amerika Serikat.
“Kita sudah keliling dunia mengadakan pertunjukkan, tapi sayangnya perhatian pemerintah masih sangat kurang dalam pengembangan seni budaya,” paparnya. Di Malaysia tutur Mustafa kita mendapat gaji bulanan beda dengan di negara kita Indonesia. “Padahal jika seni tradisi seperti ini dikembangkan seperti di Bali dan daerah lain, bisa meningkatkan pendapatan daerah,” paparnya.
SALAM BUDAYA...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar