Rabu, Desember 14, 2011

Rupama, ceritera rakyat Makassar

Rupama atau ceritera rakyat Makassar yang berkembang secara lisan di tengah masyarakat pendukungnya telah diabadikan dan disusun menjadi sebuah buku oleh Zainuddin Hakim. Kumpulan ceritera itu hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah ceritera yang tersebar secara lisan di Makassar. Dalam kumpulan ini penyusun mengelompokkan ceritera rakyat itu menjadi dua jenis, yakni ceritera kepercayaan dan ceritera binatang. Berikut ini akan dikemukakan judul ceritera tersebut.

Kumpulan ceritera kepercayaan terdiri atas:

  • (1) Ceritera Pung Tedong (Kerbau) Bersama Tiga Orang Putra Raja;
  • (2) Sebab Musabah Ikan Hiu Tidak Dimakan (Dalam Satu Keluarga);
  • (3) I Kukang;
  • (4) Kisah Percintaan;
  • (5) Ceritera Musang Berjanggut;
  • (6) Kisah Orang yang Tujuh Anaknya;
  • (7) Dua Orang Bersahabat;
  • (8) Orang yang Durhaka kepada Orang Tuanya;
  • (9) Kisah Tinuluk;
  • (10) Dua Orang Bersaudara.

Kumpulan ceritera bintang terdiri atas:
  • (1) Ceritera Pelanduk dan Buaya;
  • (2) Ceritera Buaya dengan Kerbau;
  • (3) Monyet dengan Kura-kura;
  • (4) Kisah Rusa dengan Kura-Kura; dan
  • (5) Kisah Pelanduk dengan Macan.
Rupama atau ceritera rakyat tersebut berfungsi sebagai hiburan dan sebagai sarana pendidikan bagi anak-anak. Dalam ceritera itu (sebagai ceritera lisan) terlukis curahan perasaan yang disampaikan dengan sangat indah oleh penuturnya kepada pendengar. Selain itu perilaku manusia yang terdapat dalam rupama merupakan cerminan sikap, pandangan hidup dan cita-cita masyarakat pendukungnya. Ceritera rakyat tersebut tidak hanya diungkapkan dalam bentuk sastra lisan, tetapi juga dalam bentuk tulisan yang berwujud naskah. Ceritera yang disajikan dalam bentuk tulisan memiliki nilai dan bobot yang lebih baik daripada yang disajikan dalam bentuk lisan.

Berikut ini akan dikemukakan secara ringkas ceritera Pung Tedong (Kerbau) Bersama Tiga Orang Puteri Raja. Dalam ceritera ini, dikisahkan tiga gadis yang masing-masing adalah anak tiga pangeran yang beristerikan seekor kerbau. Ketiga gadis itu dilahirkan dari seekor kerbau yang telah meminum air seni tiga pangeran yang sedang bermain-main di hutan. Setelah ketiga gadis itu berkeluarga, suatu ketika ibunya datang menjenguknya, tetapi dua anaknya itu sangat sombong, kejam dan tidak mengakui ibunya yang berwujud kerbau. Kedua putrid itu adalah Putri Lila Sari dan Putri Limba Sari. Mereka memukuli kerbau itu dan mengusirnya hingga ibunya sakit hati. Akan tetapi kerbau itu mendapat perlakuan yang baik setelah sampai di rumah anak bungsunya, yang bernama Putri Bida Sari. Putri itu menangis mendengar cerita ibunya tentang kelakukan kakak-kakaknya terhadap ibunya. Selanjutnya ia rawat ibunya dengan kasih sayang, seperti ketika ibunya membesarkannya dahulu. Putri yang baik hati itu akhirnya hidup bahagia setelah ibunya mati. Sebelum mati ibunya berpedan kepada Putri Bida Sari agar tubuhnya dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam beberapa guci. Ternyata seluruh tubuh kerbau yang dimasukkan ke dalam guci-guci berubah menjadi emas, intan dan permata. Rumah Putri Bida Sari menjadi terang benderang terkenca cahaya emas tersebut. Ketika mendengar berita itu, kedua kakaknya datang ke rumah Putri Bida Sari dengan maksud ingin meminta seidikit emas milik adiknya itu. Putri Bida Sari mengizinkan mereka mengambil sendiri emas dan permata itu, tetapi mereka tidak dapat mengambil emas itu sedikit pun sehingga mereka kepayahan. Setiap emas dan permata yang mereka ambil menjauh. Melihat kejadian itu Putri Bida Sari menceritakan kepada kedua kakaknya bahwa emas dan permata itu berasal dari tubuh ibunya. Mengetahui hal itu, pulanglah mereka dengan rasa penuh penyesalan akan tabiatnya yang buruk kepada ibu mereka.

Cerita berteme kebijaksanaan terdapat juga pada cerita Kisah orang Tujuh Anaknya. Cerita ini mengisahkan orangtua yang sangat sedih karena ketujuh anaknya yang telah mendapatkan hartanya tidak memperdulikannya lagi. Agar ia diperhatikan lagi oleh ketujuh anaknya, orangtua itu menyusun siasat. Ia bercerita kepada ketujuh anaknya bahwai amasih mempunyai harta yang disimpan di atap rumahnya, yaitu di dalam sebuah periuk kecil. Mendengar kisah ayahnya itu, ketujuh anaknya berdatangan ke rumah ayahnya dan berebut untuk merawat ayahnya dengan sebaik-baiknya. Setelah ayahnya meninggal, ketujuh anak laki-laki itu kecewa karena isi beriuk itu ternyata kotoran ayahnya yang sengaja disimpan untuk membohoni anak-anaknya yang tidak tahu membalas budi. Jika disimak cerita Kisah Orang Tujuh Anaknya merupakan cerita humor yang mengandung unsur pendidikan. Di dalamnya tersirat nasihat bahwa seseorang anak janganlah pamrih jika berbakti kepada orangtuanya.

Dalam cerita yang lain, yakni Kisah Percintaan dikisahkan tentang kekecewaan anak seorang raja yang ditolak pinangannya oleh gadis pujaannya. Sebagai pembalasan anak raja itu mengguna-gunai gadis tersebut hingga sakit ingatan dan akhirnya meninggal dunia, sehingga anak raja itu menyesali perbuatannya. Untunglah Tuhan masih memberi ampun karena ia menyesali perbuatannya dan meminta maaf di makan gadis itu. Dengan kebesaran Tuhan seketika gadis itu hidup kembali. Akhirnya mereka hidup bahagia sebagai suami-istri. Kisah itu menyiratkan bahwa seorang gadis janganlah menolak pinangan pemuda.

Selain cerita di atas, terdapat juga cerita binatang yang mengandung nilai pendidikan bagi anak-anak. Nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya antara lain menganjurkan anak-anak harus berhati-hati dalam bertindak, jangan sombong, jangan berdusta, jangan berbohong dan jangan bersifat jahat kepada kawan yang sudah menolong. Untuk lebih jelasnya, berikut ini dipaparkan Kisah Pelanduk dan Macan. Seekor pelanduk ingin menolong seekor kerbau yang ketakutan karena akan dimakan oleh harimau. Melihat itu pelanduk bersuara seperti raksasa pemakan harimau ketika si harimau akan memangsa si kerbau.

“Álangkah baiknya langkahku sekarang. Baru habis macan tua saya makan, sekarang datang macan muda membawa dirinya!”, ujar pelanduk.

Mendengar suara tersebut macam lari tunggang langgan dang menemui nenek Pattironaik. Nenek bersepakat dengan macan untuk bersama-sama melawan pelanduk yang mereka kira raksasa. Nenek Pattironaik berpikir bahwa ia tidak akan bisa melawan raksasa itu sendirian dan saat ini merupakan kesempatan yang baik. Akan tetapi macan mengajukan syarat bahwa ia mau melawan raksasa itu bersama nenek Pattironaik kalau tubuhnya diikan dengan tubuh nenek Pattironaik karena ia takut ditinggal lari oleh si nenek. Setelah tubuh mereka saling terikat, mereka pergi menuju tempat raksasa.

“Melihat persekongkolan Nenek Pattironaik, sejak kemarin saya menunggu, mengapa baru sekarang engkau datang. Nenekmu berhutang tujuh eor macan, mengapa hanya seekor yang kamu bawa?”

mendengar suara itu macan ketakutan dan berpikir bahwa dirinya diajak untuk membayar hutang nenek. Harimau lalu meneyrang Nenek Pattironaik. Karena tubuh nenek Pattironaik terikat menjadi satu dengan harimau, pergumulan di antara mereka sangat sengit dan masing-masing tidak dapat melarikan diri, sehingga keduanya mati.

Melihat kejadian tersebut pelanduk dan kerbau bersenang-senang.

Demikianlah kisah beberapa cerita rakyat dari Makassar yang mengandung unsur didaktis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...