Rabu, Oktober 19, 2011

Kritikus Seni Rupa

Kritikus seni atau ialah orang yang melakukan kritik terhadap karya seni orang lain atau dirinya sendiri (self-critic). Idealnya seorang kritikus harus memiliki ketajaman dan sensibilitas indera, pikiran dan perasaan. Ketajaman dan sensibilitas tersebut terintegrasi dalam satu kapasitas reasoning dan creative, jika dilandasi :
  1. keilmuan dan pengetahuan yang relevan;
  2. pengalaman yang memadai dalam dunia pergaulan materi kritik ;
  3. menguasai media kritik (kebahasaan yang efektif dan komunikatif);
  4. menguasai aplikasi metoda kritik yang optimal.
Landasan keilmuan (dan pengetahuan) yang relevan akan membantu pekritik dalam mengupas persoalan kekaryaan seni rupa. Misalnya sejarah seni rupa (history of art) baik perkembangan senirupa Barat (Western Art) maupun seni rupa Timur (Eastern Art). Ilmu sejarah akan memberikan jalan wawasan tentang waktu (time) dan ruang (space) kekaryaan seni rupa. Dengan mempelajari perkembangan seni rupa di setiap pelosok dunia, maka luas bahan (scope) sebagai dasar pemikiran dan acuan arah komparasi menjadi lebih terbuka. Selain sejarah seni rupa, wawasan teori seni juga penting dimiliki oleh kritikus. Teori seni meliputi ilmu seni, filsafat seni, unsur seni, antropologi seni, sosiologi seni, tinjauan seni modern dan kontemporer, dan lain-lain. Keilmuan akan memberi pijakan dan memperkokoh konstruksi kritik yang obyektif. Sehingga mata pisau 7 kritik semakin akurat, dan memberi pula wawasan kepada publik seni dengan keyakinan yang kuat.
Seorang pekritik seni rupa tidak selalu harus seorang perupa, namun ilmu kesenirupaan harus dimilikinya. Pengalaman dan pergaulan dalam mengamati, menyelidiki, dan membandingkan kekaryaan seni rupa sebagai prasyarat yang tidak bisa dilepaskan dari seorang pekritik seni rupa. Pengamatan terhadap perkembangan seni rupa masa lalu (dari prasejarah ) hingga fenomena seni rupa masa kini akan memberi warna yang serasi bagi karya kritik seni rupa. Begitupun upaya menyelidiki dan membandingkan kekaryaan seni rupa antar berbagai keberadaan seni rupa sangat membantu memperluas dan memperkaya cakrawala kritik.
Sering dijumpai seorang kritikus seni lukis, misalnya, yang mengupas karya seni lukis, tetapi kupasannya memberikan gambaran yang keliru. Hal ini umumnya disebabkan oleh faktor pengalaman, pengetahuan dan wawasan yang kurang memadai. Tidak mungkin seseorang mengkritik lukisan, jika ia tidak mengetahui medium lukis, proses melukis, dan sebagainya. Menggeluti dunia sasaran kritik merupakan tugas seorang pekritik. Tidak hanya memahami kekaryaannya, pekritik juga sebaiknya memahami pikiran, perasaan seniman penciptanya. Biografi dan kehidupan seniman tidak lepas dari pengamatan pekritik.
Media kritik yang utama adalah bahasa. Bahasa pekritik harus efektif dan komunikatif, baik lisan maupun tulisan. Bahasa yang efektif adalah bahasa yang mengacu pada aspek tata bahasa yang baik dan benar, serta tepat guna, sesuai sasaran publik yang kita tuju. Bahasa yang komunikatif adalah bahasa yang mudah dicerna oleh sasaran baca/dengar (audiens), sesuai tingkat intelektualnya. Gaya bahasa kritikus diselaraskan dengan tipe kritiknya. Gaya bahasa jurnalistik akan berbeda dengan tipe akademik. gaya jurnalistik memiliki sasaran pembaca yang relatif meluas, beraneka latar belekang ilmu dan tingkat intelektualnya. Sedangkan tipe akademik memerlukan gaya yang lebih ilmiah, sebab sasaran pembaca/pendengarnya adalah sekelompok orang akademisi.
Metoda kritik adalah serangkaian prosedur (tata cara, etika) yang disesuaikan dengan tipe kritiknya. Misalnya, metoda kritik jurnalistik menggunakan tata cara jurnalis. Begitupun metoda kritik akademik menggunakan tata cara akademis yang dikembangkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...